Rabu, 06 Juli 2011

Revitalisasi pergerakan mahasiswa..

Seminar “Revitalisasi Pergerakan Mahasiswa”
Wednesday, 9 March 2011 Oleh: admin
Share



Tranformasi sosial di era sekarang ini berjalan semakin cepat dari masa ke masa. Hal ini salah satunya mengakibatkan berbagai fenomena dalam dunia kemahasiswaan yang cenderung negatif. Dalam menghadapi situasi dilematis ini, perlu dilakukan beberapa upaya sebagai kiat merevitalisasi fungsi dan peran gerakan mahasiswa.

Demikian Disampaikan Said Tuhuleley, Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah (MPM PP Muhammadiyah) dalam Seminar bertajuk “Revitalisasi Pergerakan Mahasiswa”, Selasa (8/3) di Ruang Sidang Lantai 5 Gedung AR Fahrudin B Kampus Terpadu Universritas Muhammadiyah Yogykarta (UMY). Seminar tersebut diselenggarakan dalam rangkaian Pertemuan Silaturahmi Nasional Badan Eksekutif Mahasiswa Perguruan Tinggi Muhammadiyah (Silatnas BEM PTM) yang diadakan sejak Senin (7/3) lalu.

Menurut Said, salah satu persoalan besar yang muncul dalam hubungan dan keterwakilan masyarakat saat ini adalah terjadinya Intoleransi sosial. Sikap yang berkembang di masyarakat adalah sikap ekslusif primordialis. Hal ini juga berarti munculmya gejala kurang dihargainya lagi perbedaan antar manusia maupun antar kelompok di masyarakat. Selain itu degradasi wawasan kemanusiaan menjadi persoalan lain di mana kekerasan terjadi bahkan menjadi ciri manusia modern.

Setidaknya ada beberapa fenomena yang disebutkan Said dalam penjelasannya di depan perwakilan-perwakilan BEM PTM se-Indonesia ini. Yang pertama adalan degradasi struktur sosial mahasiswa di mana perubahan dalam dunia mahasiswa menempatkan mahasiswa tidak lagi berada dalam puncak “stupa” masyarakat. “Mahasiswa bukan lagi elite paling terdidik. Di zaman kolonial, posisi mahasiswa tidak seperti ini”, ujar lulusan IKIP Negeri Yogyakarta yang saat ini bekerja sebagai Dosen Fakultas Agama Islam UMY ini.

Berubahnya fungsi partai-partai politik yang cenderung hanya menjadi “Syarikat Dagang Politik” menurut Said merupakan latar belakang melemahnya lembaga-lembaga artikulasi. Lembaga-lembaga ini tidak lagi dapat memberikan pengaruhnya dalam menyatakan kehendak rakyat. Fenomena lain yang timbul adalah menyempitnya pengertian pemuda. “Saat orang-orang menyebut gerakan mahasiswa, tidak selaras jika disamakan dengan pengertian gerakan pemuda. Ini sebagai gejala kea rah elitisme” terangnya

Melemahnya sumber rekrutmen kader mahasiswa yang berkualitas merupakan problematika lain yang sulit dipecahkan. Hal ini tidak diimbangi dengan penyebutan Ketua BEM sebagai Presiden yang justru berkembang kea rah yang berlebihan. Upaya desakralisasi ini menurut Said jusrtu dapat menimbulkan kesan bahwa lembaga kemahasiswaan intra universiter hanya sekedar lembaga main-main.

Pada akhirnya Said berpendapat bahwa penataan kembali organisasi mahasiswa sangat perlu dilakukan. Penataan ini menurutnya menuntut organisasi mahaiswa kembali ke kesan sederhana, wajar, dan mudah diakses, salah satunya dengan mengurangi pengadopsian istilah kenegaraan seperti penyebutan Ketua menjadi presiden tadi. Said juga tidak menilai posisi Unit Kegiatan Mahasiswa saat ini sebagai hal efektif. “Jangan ada negara dalam negara, harus ada kesatuan organisasi yang lebih sederhana” jelas pengasuh Pesantren Budi Mulia ini.

Selain Said, turut menjadi narasumber dalam seminar ini Eko Prasetyo, seorang peneliti dan penulis buku, serta Zain Maulana, Staff Institute of International Studies UGM. Silatnas BEM PTM ini sendiri dihadiri sekitar 180 mahasiswa perwakilan dari lebi 60 PYM se-Indonesia.

Senin, 04 Juli 2011

Sejarah GMKI

Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia

I. PENDAHULUAN

Sejarah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) adalah rentetan peristiwa yang dialami oleh GMKI. Sejarah itu menggambarkan “suka-duka” perjalanan GMKI dalam mewujudkan tugas dan panggilannya. Sejarah perlu dipelajari karena 3 (tiga) alasan: pertama, melalui sejarah kita menemukan motivasi dasar dan cita-cita yang mengilhami para pendahulu untuk membntuk GMKI; kedua, melalui sejarah juga kita memperoleh nilai-nilai kejuangan para pendahulu; dan ketiga, dengan mempelajari sejarah, akan terpola pemahaman yang benar tentang GMKI dan perjuangannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan bergereja.

Salah satu nilai penting lain yang dapat kita petik dari sejarah GMKI adalah karakter dwi-watak GMKI yang sangat khas karena berupaya untuk memilih secara kreatif dan dinamis antara oikumenisme dan nasionalisme. Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan ber-GMKI, dari waktu ke waktu. Keduanya, seolah dihubungkan oleh “seutas benang biru” yang walaupun sangat halus (kadang-kadang tidak kelihatan), namun amat kokoh. Hal tersebut terlihat jelas pada sejarah GMKI, dimana selain berdoa dan berdiskusi tentang Firman Tuhan (PA), juga tidak lupa para mahasiswa secara bahu membahu membantu perjuangan fisik bangsa. Sebagai contoh, sebagaimana hasil dialog antara Alex F. Litaay dengan Mr. Tine A. L. Franz, seorang Ibu yang banyak memberi andil dalam sejarah CSV op Java, PMKI, dan GMKI. Beliau menggambarkan bahwa setiap minggu ketiga Februari, satu per satu anggota PMKI menuju ke Jln. Pegangsaan Timur No. 27 (sekarang STT Jakarta) untuk bersekutu dan berdoa secara bersama-sama dalam acara Hari Doa Mahasiswa Se-Dunia atau HDMS (
The Universal Day of Prayer for Students). Walau demikian, mereka tetap menggunakan lencana merah putih di dada, sebagai simbol kebanggaan dan wujud komitmen terhadap perjuangan bangsa, agar tetap berjuang di fron-fron pertempuran ketika berlangsung revolusi fisik.

Mempelajari sejarah bukan sekedar bernostalgia terhadap peristiwa masa lalu, tetapi dalam rangka menangkap visi dan misinya. Dengan belajar dari sejarah, kita diharapkan dapat melanjutkan perjuangan para pendahulu (
founding fathers) secara optimal dan mengetahui ke arah mana seharusnya “biduk” GMKI diarahkan dan/atau bergerak.
II. PERIODISASI HISTORIS
Periodisasi dalam kehadiran (presensia) GMKI dapat dibagi dalam 3 (tiga) kurun waktu, yakni: 1) Christelijke Vereeniging Studenten op Java/CSV op Java (1932-1942); 2) Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia/PMKI (1945-1950) dan CSV yang “baru” (1946-1950); dan 3) GMKI (1950-sampai sekarang).
1. CSV op Java (1932-1942)
GMKI berdiri pada tanggal 9 Februari 1950, namun cikal bakal GMKI, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java (CSV op Java), telah ada jauh sebelumnya, yaitu sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang, Yogyakarta. Berdirinya CSV op Java ini tidak dapat dipisahkan peranan dari Ir. C. L. van Doorn, seorang ahli kehutanan tetapi yang juga mempelajari aspek sosial ekonomi (khusunya pertanian) dan memperoleh gelar doktor di bidang ekonomi dan dominee di bidang teologia.
Aktivis CSV Nederland tersebut tiba di Batavia (Jakarta) pada tahun 1921. Akan tetapi, mengingat informasi dan kondisi mengenai Jawa belum dipahami secara baik, maka beliau dianjurkan untuk mempelajarinya, sebelum bertindak. Untuk maksud tersebut, beliau bekerja selama 3 (tiga) tahun di Kantor Volksrediet Purworejo sehingga pengetahuannya mengenai aspek sosial, ekonomi, dan budaya semakin berkembang. Bahkan, beliau pernah melakukan sebuah riset/penelitian dengan topik: “Sketsa tentang Perkembangan Ekonomi di Afdeiling Purworejo.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sejak semula, para pendiri CSV op Java cukup memahami situasi sebenarnya dari masyarakat Indonesia, khususnya di P. Jawa sebagai embrio bagi perkembangan GMKI hingga saat ini.

Tahun 1910-1924, berdirilah Sekolah Dokter (STOVIA) di Batavia. Perguruan tinggi lainnya berdiri di Bandung, Bogor, dan Surabaya. Tahun 1924, terbentuklah Batavia CSV sebagai cabang pertama CSV. Kurun waktu 1925-1927, mahasiswa di Surabaya yang berkumpul dalam Jong Indie dan mulai aktif melakukan PA. Kelompok ini, bersama-sama dengan Batavia CSV, mengadakan Konperensi di Kaliurang pada Desember 1932, yang mengeluarkan Pernyataan Pembentukan CSV op Java sebagai berikut:
“Kami wakil-wakil dari Batavia CSV, Surabaya CSV, dan sekelompok mahasiswa Meefdacte Batavia, yang berkumpul pada Konperensi Pemuda ke7 di Kaliurang (Yogyakarta), bersama-sama dengan beberapa orang mahasiswa kristen Bandung, telah sepakat untuk membentuk suatu CSV gabungan, yaitu Christelijke Vereeniging Studenten op Java. Dengan mendirikan CSV ini, kami bermaksud menyatakan diri dengan CSV-CSV lainnya di seluruh dunia yang tergabung dalam World Student Christian Federation (WSCF), untuk bersama-sama bersaksi tentang Yesus Kristus di kalangan dunia kemahasiswaan. Adalah tujuan jujur kami untuk menjunjung moto WSCF, “Ut omnes unum sint,” di kalangan organisasi kami demi menyatukan para mahasiswa dari perlbagai suku bangsa di sini. Kami yakin bahwa usaha awal kami ini kecil dan lemah, namun kami bertekad melaksanakan pekerjaan ini dengan keyakinan yang sama teguhnya bahwa Tuhan akan menguatkan kami.”
Peristiwa penting lainnya yang berkaitan dengan lahirnya CSV op Java adalah dengan kehadiran Dr. John R. Mott (alm) pada tahun 1926 di Jakarta. Beliau merupakan tokoh pendiri WSCF (federasi mahasiswa kristen se-dunia), yang didirikan pada Agustus 1885, melalui satu pertemuan antara mahasiswa kristen Eropa dan Amerika di istana kuno Vedstena, di tepi danau Wettern, Swedia. WSCF merupakan embrio bagi gerakan oikumene ke seluruh dunia. Kedatangan beliau di Indonesia juga merupakan tonggak sejarah amat penting bagi GMKI di Indonesia. Walau masih dalam usia muda, CSV op Java menjadi tuan rumah pelaksanaan Konperensi GMK-GMK se-Asia pada tahun 1933 di Citeureup. Konperensi ini sendiri dinamakan Konperensi Citeureup dan pada Konpoerensi inilah CSV op Java diterima sebagai Corresponding Member oleh WSCF. Keanggotaan WSCF sendiri terdiri dari: 
1)
 Pioneering Movement (gerakan-gerakan yang baru dimulai); 2) Corresponding Movement (gerakan-gerakan yang sudah stabil dan organisasinya rapi terstruktur tetapi belum memenuhi syarat untuk menjadi anggota resmi Federasi; dan 3) Affiliated Movement/Full Member (gerakan-gerakan yang sudah memenuhi segala persyaratan yang ditetapkan Federasi).
Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90-an orang dan cabang-cabangnyapun hanya baru ada di kota-kota perguruan tinggi di Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung, dan Surabaya). Sekalipun “kecil dan lemah,” CSV op Java berhasil meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa kristen yang kemudian dilanjutkan oleh GMKI (PMKI dan CSV yang “baru”).
Masuknya Jepang ke Indonesia (1942), mengakhiri eksistensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris karena Pemerintah Pendudukan Jepang melarang sama sekali kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk pada zaman Hindia Belanda. Secara praktis, CSV op Java tidak lagi ada sejak tahun 1942. Akan tetapi, dua aspek penting yang menjadi dasar bagi perkembangan kehidupan organisasi mahasiswa kristen selanjutnya, yang biasa disebut “benang biru” sejarah adalah: 1) mulai ada kerjasam dengan GMK-GMK se-Asia; dan 2) makin meningkatnya semangat persatuan nasional.
Sepanjang sejarahnya, CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umum Dr. J. Leimena (1932-1936) dan (1939-1942) dan Mr. Khow (1936-1939) dengan Sekretaris (full time) dijalankan oleh Ir. C. L. van Doorn (1932-1936) dan Sutjipto (1936-1942).
2. PMKI dan CSV yang baru (Masa Revolusi Kemerdekaan RI/1945)
Sejumlah mahasiswa kedokteran dan hukum di Jakarta memutuskan untuk membentuk suatu organisasi mahasiswa kristen untuk menggantiakn CSV op Java yang sudak tidak ada lagi/dibubarkan. Dalam suatu pertemuan di STT Jakarta pada tahun 1945, dibentuklah PMKI sebagai Pengurus Pusat sehingga Dr. J. Leimena tetap dipilih sebagai Ketua Umum dan dr. O. E. Engelen sebagai Sekretaris Jenderal. Akan tetapi, karena Leimena sibuk dengan tugas sebagai Menteri Muda Kesehatan, maka tugasnya diserahkan kepada dr, Engelen. Setelah itu, PMKI cabang Bandung, Bogor, Surabaya, dan Yogyakarta (ketika UGM berdiri) segera menyusul.

Kegiatan-kegiatan PMKI sebenarnya tidak terlalu berbeda dengan CSV op Java dimana penelaahan Alkitab merupakan salah satu intinya. Keanggotaan PMKI sebagian besar adalah mahasiswa yang memihak kepada perjuangan kemerdekaan. Hal ini merupakan warisan dari CSV op Java. Tidak lama setelah PMKI lahir, maka di awal tahun 1946, muncul suatu organisasi baru yang menggunakan nama CSV dengan cabang-cabang di Bogor, Bandung, dan Surabaya. CSV yang “baru” ini sebenarnya bukan merupakan tandingan PMKI, hanya saja, CSV ini lebih berorientasi kepada “Pemerintah Pendudukan Belanda.”
3. GMKI Melanjutkan Misi dan Eksistensi
a. Masa Perkembangan (1950-1960)
Dengan berakhirnya pertikaian bersenjata antara Indonesia dan Belanda di akhir tahun 1949, maka berakhir pula “pertentangan” antara PMKI dan CSV yang “baru.” Pada tanggal 9 Februari 1950, dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. J. Leimena (Jln. Teuku Umar 36, Jakarta), lahir kesepakatan untuk meleburkan PMKI dan CSVyang “baru” dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, yang disingkat GMKI. Disepakati pula bahwa untuk sementara waktu, Dr. J. Leimena diangkat sebagai Ketua Umum sampai diadakannya suatu kongres. Lalu, diselenggarakanlah Kongres I di Sukabumi pada Desember 1950, yang berhasil memilih: 1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 3) Bendahara: W. Makaliwy.
Pada Masa Perkembangan (beberapa dokumen menyebutkan “Masa Pertumbuhan”) ini telah berlangsung beberapa Kongres. Kongres I ini, dibahas tentang program Umum GMKI, yakni bagaimana pelayanan yang efektif terhadap anggota sebagai unit terkecil dari organisasi, terutama dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan PA agar mereka dimampukan untuk menjadi Saksi Kristus dalam dunia mahasiswa Indonesia. Sejarah juga mencatat bahwa pada tahun ini, tepatnya tanggal 22 Mei 1950, terbentuklah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang dipelopori oleh tokoh-tokoh yang sebelumnya dibina oleh GMKI, ketika masih bernama CSV atau PMKI, seperti dr. J. Leimena, E. Tunggul Sihombing, Dr. Abineno, Dr. Marantika, dan lain-lain. Penyatuan gereja-gereja memang merupakan suatu cita-cita konstan GMKI.
Pada Periode Awal ini, GMKI baru memiliki 5 (lima) cabang dengan anggota berjumlah 481 orang, dengan rincian masing-masing sebagai berikut: Jakarta (181 orang), Bandung (187 orang), Yogyakarta (40 orang), Surabaya (64 orang), dan Makassar (9 orang). Kelima cabang ini kemudian melaksanakan Kongres II pada Oktober 1952 juga di Sukabumi. Kongres ini sangat bermakna penting dan stratejis karena: 1) berhasil disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART); dan 2) mulai ditetapkan tema-tema untuk setiap kongres. Kongres II berhasil menyusun Pengurus untuk masa kerja 2 (dua) tahun (1952-1953) sebagai berikut: 1) Ketua Umum: dr. J. E. Siregar; 2) Penulis Umum: Nn. Mr. Tine A. L. Frans; dan 3) Bendahara: Dr. S. C. Nainggolan.
Pada tahun 1951, diadakan Kursus Kader Internasional yang pertama kali di Jogjakarta, dengan negara peserta: Birma, Muangthai, Philipina, India, Srilangka, Jepang, Amerika, Australia, Indonesia, dan dari WSCF sendiri. Wakil Indonesia antara lain: dr. J. E. Siregar, Nn. Tine A. L. Franz, Chr. A. Kitting, L. Radja Haba, dan Nn. D. A. Tamaela. Hasil konkrit dari kursus ini adalah dengan bekerjanya C. I. Itty, MA, sebagai Sekretaris keliling, yang mengunjungi cabang-cabang GMKI di tanah air.
Kongres II juga berlangsung di Sukabumi pada tahun 1952. Masalah utama yang dugumuli adalah program pelayanan anggota, juga merupakan “lampu kuning” bagi setiap anggota GMKI agar tidak tenggelam dalam multiaktivitas tanpa dibarengi dengan kehidupan rohani yang matang. Iman tanpa ilmu pengetahun adalah buta dan ilmu pengetahu tanpa iman adalah lumpuh, demikian antara lain yang disampaikan oleh J. Leimena, bahkan berulang-ulang kali diucapkan sebagai “warning.” Dalam Kongres ini juga ditetapkan antara lain: GMKI berdasarkan Kitab Kudus yang menyaksikan Yesus Kristus adalah Allah dan Juruselamat, dan ditetapkan bahwa tanggal 9 Februari 1950 sebagai hari berdirinya GMKI.
Kongres III berlangsung di Yogyakarta pada tahun 1953. Pada tahun yang sama, berdirilah cabang GMKI Bogor dan Medan sehingga jumlah seluruh anggota meningkat menjadi 1099 orang (untuk ketujuh cabang). Pada tahun yang sama, GMKI melalui General Assembly WSCF di Nasrapur, India, resmi menjadi Affiliated Movement/Full Member WSCF.
Selanjutnya, Kongres IV berlangsung di Surabaya Tahun 1954, Kongres V di Bandung Tahun 1955, dan Kongres VII di Kalimantan Tahun 1959, dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya..
Kongres VI berlangsung di Sukabumi pada tahun 1956, yang menggumuli tentang:
1) Esistensi GMKI dan identitasnya agar tetap independen dan tidak tergoda untuk bernaung di bawah salah satu kekuatan partai politik. Masalah ini juga berkembang sampai tahun 1960-an, dimana banyak orang “memvonis” bahwa GMKI merupakan “onderbouw” Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Hal ini jelas keliru! Memang keduanya mempunyai dasar yang sama, yaitu Alkitab, tetapi, GMKI bukanlah organisasi politik! Kehadiran anggota-anggota atau “bekas” anggota GMKI dalam Parkindo, bukanlah kebijaksanaan resmi atau restu ataupun rekomendasi GMKI. Hal ini juga berlaku sampai sekarang.
 
2) Kongres VI ini juga melakukan perubahan AD/ART GMKI, dimana Pengurus Umum dipilih untuk masa bakti 2 (dua) tahun.
Hingga tahun 1960, boleh dibilang bahwa GMKI memang mengalami masa perkembangan, baik dalam hal penataan organisasi maupun dalam siklus dan kalender konstitusi organisasi. Sebagai contoh, pada IV di Prigen, Surabaya, telah dilaksanakan Konperensi Studi mengawali Kongres.
b. Masa Konsolidasi (1960-1970)
Konperensi Studi dan Kongres Nasional (KKN) VIII pada Juli 1961 berlangsung di Surabaya, yang merupakan Kongres pertama pada dekade 1960-an, yang dikenal sebagai Masa Konsolidasi. (cf: dekade 1950-an disebut Masa Pertumbuhan). Di sekitar periode ini dapat dicatat bahwa atas inisiatif GMKI, telah disepakati agar dua organisasi pemuda kristen yang selalu berseteru, yakni PPKI (Persatuan Pemuda Kristen Indonesia) dan MPKO (Majelis Pemuda Kristen Oikumene) untuk meleburkan menjadi satu organisasi. Cita-ciat ini akhirnya tercapai pada tanggal 23 April 1962, dimana GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) berdiri, sebagai fusi dari kedua organisasi di atas.
Kongres VIII telah membawa GMKI memasuki kehidupan baru dimana aspek konsolidasi organisasi mulai hangat didiskusikan. Kongres ini juga berhasil mengubah struktur secara besar-besaran dan mulailah berlaku AD/ART yang baru. GMKI yang sebelumnya dipimpin secara desentralisasi oleh Pengurus Umum (PU), selanjutnya diatur secara sentralisasi oleh Pengurus Pusat (PP). Sebelumnya, PU lebih banyak merupakan federasi dari organisasi di kota-kota PT. Selain itu, mulailah dilakukan pembagian Daerah Regional Cabang, Perumusan Pola Pelayanan, Garis Panggilan Umum, dan Pembentukan Cabang-cabang yang Baru (tendensi organisasi semakin berkembang).
Kongres IX berlangsung di Pematang Siantar tahun 1963. Kongres X berlangsung di Manado tahun 1965. Pada Kongres ini, GMKI menyatakan dirinya sebagai “anak kandung Gereja dalam Revolusi Indonesia” dan sebagai organisasi kader dan bukan ormas (organisasi massa). Hal ini berarti bahwa sikap dan tindakan GMKI diidentikkan dengan Gereja. Sebagai implikasi logisnya, pembinaan anggota diarahkan untuk menjadi kader yang mampu dan berkualitas sehingga dapat menjawab tantangan di atas. Pemahaman visi dan misi Gerakan oleh para kader, mutlak diperlukan.

Kongres XI di Makale, Tana Toraja pada tahun 1967, mencatat hal-hal yang menggembirakan dari aspek perkembangan organisasi, dimana sudah terdapat 72 cabang GMKI di seluruh tanah air, yang dibagi ke dalam 12 daerah pelayanan yang dikoordinasi oleh Koordiantor Daerah (Korda). Pada Kongres ini, GMKI merasa terpanggil untuk meningkatkan peranserta bagi pelayanan dan kesaksian dalam usaha membina kader baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kongres ini bermakna penting sebab merupakan Kongres pertama sejak bangsa dan negara bersama rakyat berhasil menumpas Pemberontakan G-30-S/PKI.
Secara intern organisasi, memang diakui bahwa peristiwa ini menimbulkan polarisasi dalam tubuh GMKI. Sebagai contoh, penyusutan jumlah cabang di tahun 1960-an sebanyak ± 90 cabang, yang hadir di Kongres XII di Kupang-Timor tahun 1970, hanya 32 cabang. Banyak cabang yang nonaktif sejak tahun 1966, terutama karena dilakukannya pembenahan sistem pendidikan tinggi oleh Pemerintah sehingga PT yang “belum mapan dan statusnya kurang jelas,” ditutup. Selain itu, timbulnya apatisme di kalangan mahasiswa sehingga banyak yang enggan masuk organisasi-organisasi ekstrauniversiter.
Selama Masa Konsolidasi, GMKI mengalami perubahan yang sangat pesat, yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia. Pengalaman dari kongres ke kongres telah membawa GMKI kepada suatu pernyataan yang dicetuskan pada Kongres XII di Kupang pada tahun 1970, yakni: “Here Am I, Send Me.” Keputusan Kongres XII menuntut agar GMKI harus menegaskan posisi teologis sebagai “gereja yang fungsional di PT.”
c. Masa Pengutusan (1970-sekarang)
Masa Pengutusan ini dapat ditelaah dari 2 (dua) aspek penting, yaitu interen organisasi dan eksteren organisasi. Aspek interen organisasi yang perlu dicermati dan disimak, antara lain:
1) Bidang Organisasi; dilakukan pembenahan cabang-cabang termasuk evaluasi terhadap yang tidak lagi berfungsi bahkan ada beberapa cabang yang dibubarkan. Di lain pihak, terbentuk cabang-cabang baru di kota-kota perguruan tinggi yang dianggap stratejis. Hingga memasuki Kongres XXX yang akan diselenggarakan di Kupang, 5-12 November 2006, tercatat sekitar 71 cabang GMKI (jumlah yang hampir sama tatkala memasuki Kongres XII di Kupang pada tahun 1970 atau 36 tahun kemudian), selain beberapa calon dan bakal calon cabang yang sedang diproses oleh Pengurus Pusat Masa Bakti 2004-2006;
2) Bidang Kaderisasi: Kongres XV di Palembang tahun 1976, telah memutuskan sesuatu yang sangat berharga dan penting bagi eksistensi GMKI ke depan, yaitu dipandang perlu membentuk suatu lembaga yang akan menjnjang pengkaderan GMKI. Lembaga tersebut direkomendasikan kepada Pengurus Pusat dengan nama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kader (LPPK) GMKI. Lima tahun kemudian (1981), melalui seminar nasional pendidikan kader di Salatiga, dirumuskanlah Pola Dasar Sistem Pendidikan Kader (PDSPK) GMKI. PDSPK ini berlaku untuk 10 tahun ke depan barulah dievaluasi. Sesudah 10 tahun (1981-1991), oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1990-1992, meaksanakan Lokakarya Sistem Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, 17-22 Maret 1992. Produk ini, kemudian oleh Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 1992-1994 bersama Yayasan Bina Darma (lembaga yang dibentuk oleh Universitas Kristen Satya Wacana dan GMKI) kembali melaksanakan Konsultasi Nasional dan Lokakarya PDSPK pada 14-17 Maret 1994 di Kampus “Bina Darma” Salatiga, dimana produk Lokakarya tersebut dijadikan sebagai materi dasar Pendidikan Kader GMKI yang selanjutnya dilaporkan pada Kongres XXIV di Pekanbaru. Akhirnya, Kongres ini berhasil mensahkan produk Lokakarya menjadi PDSPK GMKI 1994-2004. Sebab itu, dalam KKN (Konperensi Studi dan Kongres Nasional) GMKI di Jogjakarta tahun 1974, GMKI mulai memikirkan cara-cara baru dalam rangka pendidikan kader. Pada tahun 1975, diadakan Seminar Pendidikan Kader GMKI di Salatiga, kemudian hasilnya dilaporkan dalam KKN 1976, yang selanjutnya menganjurkan agar dibentuk badan yang permanen untuk menagani kaderisasi. Hasilnya antara lain:
a) Terbentuknya YBD (Yayasan Bina Darma) yang merupakan wujud kerjasama antara GMKI dan UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) Salatiga, setelah melalui rembukan dan konsultasi yang intens, untuk mewujudkan Keputusan KKN 1976.
b) Selanjutnya, dengan dimotori oleh YBD, dilakukanlah lokakarya untuk mencari bentuk-bentuk yang cocok untuk GMKI. Pada Lokakarya Nasional GMKI Tahun 1981, berhasil dirumuskan Pola Dasar Pendidikan Kader GMKI, yang populer dengan nama “Pola Dasar ’81
 sebagiaman telah dijelaskan sebelumnya.”
3) Aspek Konstitusi: satu hal penting yang berhubungan dengan kehidupan konstitusi adalah adanya perubahan AD/ART GMKI pada Kongres XX di Palangkaraya, yang merupakan kelanjutan dari rekomendasi Kongres XIX di Salatiga, terutama yang berhubungan dengan hadirnya UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi kemasyarakatan, dimana semua organisasi harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, dalam AD/ART. GMKI mematuhi amaat UU ini dengan mengubah bunyi Pasal 2 AD GMKI, yang sebelumnya adalah berdasarkan Alkitab. Ini tidak berarti GMKI telah mengaburkan identitasnya sebagai organisasi yang bersifat gerejawi. Secara taktis, GMKI memindahkan rumusan Pasal 2 AD ke dalam Pembukaan, yang dipandang sebagai sumber inspirasi dan sumber motivasi bagi jiwa dan langgam kerjanya dan sumber rujukan bagi penyusunan batang tubuh AD/ART.
Bagi GMKI, Pancasila bukan “barang baru,” sebab pada Musyawarah Ketua-ketua Cabang (Musketcab) pada era 1950-an, GMKI telah menetapkan Pancasila sebagai temanya. Pancasila juga telah menjadi sumber inspirasi dan sumber motivasi/rujukan bagi aturan organisasi karena termuat secara jelas dalam Penjelasan Pembukaan/Mukaddimah AD GMKI.
Sebuah AD/ART ideal adalah yang mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan-perubahan yang terjadi baik dari sisi internal maupun eksternal. Jika kita memperhatikan AD/ART GMKI, maka sejak tahun 1986 hingga tahun 2004, sekitar 18 tahun, tidak lagi dilakukan perubahan-perubahan. Muncul pertanyaan-pertanyaan sederhana: 1) Apakah itu pertanda bahwa AD/ART GMKI begitu luwes/fleksibel dan kenyal sehingga mampu beradaptasi dengan situasi apapun?; 2) Apakah kita menganggap begitu sakral AD/ART kita sehingga ia tidak boleh “disentuh?”; 3) Ataukah kita termasuk kategori sivitas organisasi yang tidak peduli pada aturan permainan atau aturan dasar organisasi padahal ia sangat menentukan sepak terjang dan langgam kerja kita?; dan masih “apakah-apakah” yang lain yang dapat kita rumuskan secara sendiri dan spesifik.
Untuk Eksteren Organisasi, beberapa hal yang perlu dicatat adalah sebagai berikut: 1) GMKI bersama organisasi ekstrauniversiter lainnya (HMI, PMII, PMKRI, dan GMNI) pada tanggal 22 Januari 1972, membentuk “Kelompok Cipayung” (sesuai keputusan Kongres yang menyambut baik keterlibatan GMKI di Kelompok Cipayung), sebagai forum komunikasi antara organisasi ekstrauniversiter. Pada awalnya, Kelompok ini melaksanakan diskusi yang bertemakan: “Indonesia Yang Dicita-citakan.” Selama kelompok ini ada, hasil dialog mereka merupakan sumbangan pemikiran yang penting bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; dan 2) pada tanggal 23 Juli 1973, GMKI turut membidani lahirnya Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), yang merupakan wadah berhimpun bagi seluruh pemuda Indonesia. Ide dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan “Kelompok Cipayung,” yaitu adanya keinginan yang luhur untuk turut memberikan kontribusi pemikiran dalam proses pembangunan nasional dan berusaha mengatasi pengkotak-kotakan dalam dunia pemuda.
Kongres XIV berlangsung di Yogyakarta tahun 1974. Kongres mengajak GMKI agar “exodus” (keluar) dari “ghetto-ghetto” (lingkaran/tembok) persekutuan yang sempit dan ikut bersama berjuang bagi perdamaian, keadilan, dan kebenaran. Ini berarti, GMKI tidak hanya berkonsolidasi dan berbenah diri, tetapi yang terutama memberikan kesaksian dengan tindakan nyata bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang pluralistis ini.
Kongres XV berlangsung di Palembang tahun 1976. Perhatian Kongres ditujukan kepada evaluasi ulang menyangkut relevansi Program GMKI, terutama menyangkut Pendidikan Kader dan proses timbal balik antara pendidikan formal dan nonformal. Kongres XVI berlangsung di Ujungpandang tahun 1978 dan Kongres XVII berlangsung di Jakarta tahun 1980.
Selanjutnya, Kongres XVIII berlangsung di Jakarta pada Tahun 1980, Kongres XIX berlangsung di Salatiga pada Tahun 1984; dan Kongres XX berlangsung di Palangkaraya Tahun 1986; Kongres XXI berlangsung di Bandung pada Tahun 1988; Kongres XXII berlangsung di Jayapura pada Tahun 1990; Kongres XXIII berlangsung di Tomohon pada Tahun 1992; Kongres XXIV berlangsung di Pekanbaru pada Tahun 1994; Kongres XXV berlangsung di Ambon pada Tahun 1996; Kongres XXVI berlangsung di Palu pada Tahun 1998; Kongres XXVII berlangsung di Denpasar pada Tahun 2000; Kongres XXVIII berlangsung di Tondano pada Tahun 2002; dimana keputusan yang diambil masih bersifat umum, yakni menyangkut pergumulan GMKI di medan layannya kecuali Kongres XIX dan XX yang akhirnya berhasil mengubah dari “DASAR” GMKI, yakni Alkitab menjadi “ASAS” serta Kongres XXIX berlangsung di Pematang Siantar pada Tahun 2004, yang menambahkan pasal tentang Visi dan Misi (Pasal 2 yang sebelumnya tentang Tujuan), dimana ayat 1 merupakan rumusan baru tentang Visi sedangkan ayat 2 tentang Misi yang merupakan rumusan “lama” atau “saduran” dari rumusan Tujuan pada AD/ART sebelumnya.

Proposal ku...



BAB I
PENDAHULUAN

A.LatarBelakang

      Pada tahun 2003 dimulainya operasi pemusnahan helm yang bukan standar oleh jajaran kepolisian, ada beberapa warga Pekan baru yang mengeluh/segan dengan penggunaan helm standar. Berbagai alasan mulai dari kepala terasa berat,tidak nyaman,tidak mendengar kalo ada yang memanggil,dan sebagainya.

     Helm yang baik adalah helm yang aman dan nyaman. Biasanya helm semacam ini lulus persyaratan DOT (Departement of Transportation) atau standar transportasi Amerika Serikat. Ada juga standar-standar lain seperti untuk Eropa, Jepang, bahkan Indonesia sendiri. Apapun itu, helm yang aman adalah helm yang terbuat dari lapisan cangkang luar yang membungkus seluruh kepala dan menyisakan cukup ruang untuk melihat kedepan.Orang-orang sering menyebutnya helm full face. Juga cangkangnya harus lumanyan tebal dan anti benturan.

     Helm yang aman mestinya berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan meskipun hampir-hampir tidak ada helm yang benar-benar nyaman. Helm haruslah cukup ringan dan memungkinkan anda melihat dengan jelas, baik kala siang dan malam ataupun teruk hujan. Hindari penggunaan jenis kaca mika yang kurang bening yang mengurangi jarak pandang,terutama saat malam. Kaca yang sudah penuh dengan goresan, sebaiknya diganti. Pilihlah yng berkualitas oleh kebeningan dan tidak berefek cembung atau cekung.

    Sekarang ini banyak sekali terdapat merk-merk helm yang ditawarkan kepada konsumen seperti Arai, Shoe, Nolan, dan merk helm GV yang palsu yaitu GM dan sebagainya. Dimana masing-masing merk helm tersebut berusaha untuk membuat produknya lebih unggul dibandingkan dengan merk lain. Maka kegiatan pemasaran yang baik dan tepatlah yang memegang peranan yang penting dalam menunjang kelangsungan usaha dan perkembangan suatu perusahaan. Dengan kata lain, pihak produsen harus mampu merebut hati konsumen akan hasil produksi yang dijual dan berupaya untuk memuaskan kebutuhan konsumennya.

     Dalam memahami prilaku konsumen tentu tidak mudah karena konsumen mempunyai sifat yang berbeda-beda sebagaimana dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas disamping dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan internal lainnya yang berakibat langsung terhadap prilaku konsumen. Faktor eksternal yang dimaksud meliputi kebudayaan, sub budaya,kelas social,kelompok social, kelompok referensi, dan keluarga. Sedangkan factor internal adalah factor yang ada pada diri konsumen itu sendiri (psikologis) yang meliputi: belajar, kepribadian,dankonsepdiri,sertasikap(Stanton,1996:155).

    Oleh sebab itu konsumen harus dapat mengendalikan perubahan perilaku tersebut dengan berusaha mengimbanginya, yakni dengan mempengaruhi konsumen dalam membeli produk yang ditawarkan dan melalui evaluasi berkala demi kelangsungan hidup produsen itu sendiri. Tidak semua merk helm yang mampu diminati oleh sebagian besar konsumen yang ada, tetapi hanya beberapa saja.Salah satunya adalah merk GV yang menjadi pilihan konsumen khususnya mahasisiwa fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNRI Pekan baru.

     Helm merk GV ini memiliki kualitas yang berstandar internasional yang menggunakan teknologi dari Italia. Berat helm half face idealnya 1 sampai 1,3 kg, sedangkan untuk helm fullface bobotnyaberkisar1,3-1,7kg.

     Helm GV nampaknya sudah menjadi tuntutan para pengendara sepeda motor, khususnya mahasiswa. Sering dikatakan oleh para mahasiswa “Kalau naik motor helmnya harus GV kalo tidak mau di cap tidak gaul”. Melihat keadaan inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perilaku konsumen yang merupakan salah satu dasar dalam menerapkan strategi pemasaran untuk mencapai tujuan, yaitu memberikan kepuasan kepada konsumen, sehinggan diharapkan dapat membawa kepada peningkatan penjualan yang berakibat lengsung pada peningkatan pasar.


B.Rumusan Masalah

      Berdasarkan  latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka dapat diidentifikasi beberapa hal sebagai berikut :
Banyaknya merk-merk helm sepada motor yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen.
Helm merupakan salah satu penunjang keselamatan berkendaraan yang sangat penting.
Pentingnya memahami prilaku konsumen untuk meningkatkan penjualan.
Helm GV diminati oleh para mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNRI.

       Sehingga berdasarkan uraian di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.Apakah faktor-faktor seperti harga, selera, kualitas, harga jual kembali, prestise dan promosi secara simultan mempengaruhi prilaku konsumen dalam membeli helm merk GV?
2.Dari factor-faktor tersebut, factor manakah yang paling dominan memberikan pengaruh terhadap prilaku konsumen terhadap pembelian helm merk GV?

C.Tujuan Penelitian

       Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah :
1.Untuk mengetahui prilaku konsumen dalam pembelian helm merk GV dilihat dari harga, selera, kualitas, harga jual kembali, prestise dan promosi.
2.Untuk mengetahui factor yang paling dominan mempengaruhi prilaku konsumen dalam pembelian helm merk GV.


D.ManfaataPenelitian

     Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi perusahaan dalam menetapkan kebijakan dan strategi di bidang pemasaran untuk mengembangkan usaha bisnis mereka.
2.Diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Landasan Teori

1.Pengertian Pemasaran

     Sehubungan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini maka diperlukan adanya teori-teori atau konsep-konsep yang memerlukan penjelasan. Dalam benyak perusahaan dewasa ini, pemasaran memegang peranan sebagai suatu faktor penting untuk tetap bertahan menjalankan usaha dan bergelut dalam dunia persaingan. Pemasaran merupakan factor vital sebagai strategi pesrusahaan dalam menjalankan usahanya, yang terutama berhubungan dengan konsumen. Kata pemasaran sendiri berasal dari kata pasar, atau bias juga diartikan dengan mekanisme yang mempertemukan permintaan dan penawaran.
      Menurut Kotler ( 2002 : 9 ) “Pemasaran adalah proses social yang didalamnyaa individu dan kelompok mendapatkan apa yang meraka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produks yang bernilai dengan pihak lain”.
Menurut Stanton ( 1996 : 6 ) “Pemasaran adalah suatu system keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, mendistribusikan barang dan jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada meupun pembeli potensial”.
    Menurut Lamb, Hair, Me Daniel ( 2001 : 6 ) “Pemasaran adalah suatu proses perencanaan dan menjalankan konsep, harga, promosi, dan sejumlah ide, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang mampu memuaskan tujuan individu dan organisasi”.
    Dari ketiga definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya pemasaran bukan hanya kegiatan menjual barang maupun jasa tetapi juga meliputi kegiatan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan dengan berusaha mempengaruhi konsumen untuk bersedia membeli barang dan jasa perusahaan melalui penciptaan, penawaran, dan pertukaran produk yang bernilai. Hal ini sangat penting bagi manajer pemasaran untuk memahami tingkah laku konsumen tersebut. Sehingga perusahaan dapat mengembangkan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan produk secara lebih baik. Dengan mempelajari prilaku konsumen, manajer akan mengetahui kesempatan, mengidentifikasi, serta menentukan segmentasi pasar secara tepat dan akurat.


2.Prilaku Konsumen

    Menurut Swasta ( 1992 : 9 ) “Prilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan individu-individu yang secara langsung terlibat dalam memdapatkan termasuk mempergunakan barang-barang dan jasa, keputusan pada persiapan dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut”.
Menurut Peter J. Paul dan jerry C. Olson ( 2000 : 6 ) “Prilaku konsumen merupakan interaksi dinamis antara pengaruh dan kondisi prilaku dan kejadian di sekitar lingkungan di mana manusia melakukan aspek pertukaran dalam kehidupan mereka”.
    Dari dua jenis definissi di atas dilihat ada dua hal penting dari prilaku konsumen yaitu proses pengembalian keputusan dan kegiatan fisik yang semuanya ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatlkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa secara ekonomis. Dengan kata lain prilaku konsumen adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku konsumen dalam arti tindakan-tindakan yang dilakukan untuk membeli suatu barang atau jasa tertentu.

3.Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prilaku Pembelian Konsumen

       Menurut Kotler ( 2002 : 183 ) Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku pembelian konsumen yaitu :
a.Faktor Kebudayaan
      Kebudayaan mempunyai penaruh paling luas dan mendalam terhadap prilaku konsumen. Terdiri dari budaya, sub budaya, dan kelas social. Budaya yang merupakan karakter paling penting dari suatu social yang membedakannya dari kelompok budaya lain menjadi penentu dan keinginan dan prilaku yang paling mendasar. Masing-masing budaya terdiri dari sub budaya yang memberikan lebih banyak ciri-ciri dan sosialisasi.Sub budaya adalah suatu kelompok homogeny atas sejumlah orang yang terbagi menjadi beberapa bagian dari keseluruhan suatu budaya. Masyarakat dalam suatu budaya dan sub budaya sesungguhnya terbagi dalam strata atau kelas social. Kelas social merupakan sekelompok orang yang sama-sama mempertimbangkan secara dekat persamaan diantara mereka sendiri.

b.Faktor Sosial
       Pada umumnya konsumen sering meminta pendapat dari orang sekitas dan lingkungannya tentang produk apa yang harus dibeli. Karena itulah lingkungan sosial memberikan pengaruh terhadap prilaku konsumen. Faktor Sosial terdiri dari 3 bagian, yaitu : kelompok acuan, keluarga, dan peran. Kelompok acuan adalah semua kelompok yang memilki pengaruh langsung terhadap sikap / prilaku seseorang. Dengan pendapat yang diperoleh dari suatu kelompok maka konsumen dapat membuat keputusan konsumsi. Keluarga sebagai organisasi pembelian konsumen yang paling penting juga berpengaruh secara langsung terhadap keputusan seseorang dalam membeli barang sehari-hari. Sedangkan peran meliputi kegiatan yang diharapkan akan dilakukan seseorang. Suatu produk atau merk dapat menggambarkan peran dan status pamakainya.

c.Faktor Pribadi
      Mulai dari bayi hingga dewasa dan menjadi tua, manusia selalu membutuhkan barang dan jasa. Pilihan barang yang dibeli secara otomatis dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan gaya hidup yang bersangkutan. Gaya hidup adalah cara hidup seseorang yang terlihat melalui aktivitas sehari-hari, minat dan pendapat seseorang. Seseorang dengan pendapatan yang tinggi dan gaya hidup mewah tentunya akan menentukan pilihan pada barang dan jasa yang berkualitas. Selain itu kepribadian dan konsep diri juga mempengaruhi pilihan produk. Konsep diri adalah bagaimana konsumen mempresepsikan diri mereka sendiri, yang meliputi sikap, persepsi, keyakinan, dan evaluasi diri. Karena sangat berguna dalam menganalisis prilaku sonsumen sehingga banyak perusahaan menggunakan konsep yang berhubungan dengan kepribadian seseorang.

d.Faktor Psikologis
     Sikap pembelian psikologis dipengaruhi oleh empat facktor psikologis utama, yaitu : motivasi, persepsi, pembelajaran dan kepercayaan. Motivasi merupakan kebutuhan yang mendorong seseorang dalam melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Melalui motivasi proses pengamatan dan belajar seseorang memperoleh kepercayaan terhadap suatu produk yang secara otomatis mempengaruhi prilaku pembelian konsumen. Para konsumen mengembangkan beberapa kenyakinan mengenai ciri-ciri dari suatu produk dan selanjutnya akan membentuk suatu sikap konsumen terhadap produk tersebut.

4.Faktor Pribadi
     Menurut Kotler ( 2002 : 204 ) tujuan pemasaran adalah memenuhi dan memuaskan kebutuhan serta keinginan pelanggan yang menjadi sasaran. Pada bidang prilaku konsumen ini mempelajari bagaimana individu, kelompok, dan organisasi memilih, membeli, memakai, dan membuang barang , jasa, gagasan atau pengalaman dalam rangka memuasakan kebutuhan dan hasrat mereka. Para perusahaan yang cermat melakukan riset atau Quesioner atas riset atas proses keputusan pembelian yang ada dalam jenis produk mereka. Ketika membuat keputusan untuk membeli suatu produk, konsumen melewati tahap-tahap sebagai berikut :


a. Pengenalan Masalah

    Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau kebutuhan. Pembeli merasakan perbedaan antara  keadaan aktualnya dengan keadaan yang diinginkannya. Kebutuhan umum seseorang seperti lapar, haus, saat mencapai titik tertentu dapat menjadi sebuah dorongan. Kebutuhan juga dapat ditimbulkan oleh rangsangan eksternal seperti ketika seseorang melihat iklan mobil dan ingin membelinya. Dengan mengumpulkan informasi dari sejumlah konsumen, pemasar dapat menidentifikasi rangsangan yang paling sering membengkitkan minat akan suatu jenis produk. Pemasar kemudian dapat membangkitkan strategi pemasaran yang memicu minat konsumen.

b.Pencarian Informasi

     Saat seseorang mulai menyadari kebutuhannya, maka pilihan produk dan merk harus diidentifikasi untuk memenuhi kebutuhanya. Dalam mencari berbagai alternative pilihan untuk memuaskan kebutuhan, seorang konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti beberapa banyak biaya waktu, berapa banyak informasi dari masa alalu dan sumber-sumber lain yang sudah dimiliki oleh konsumen. Yang menjadi minat utama pemasar adalah sumber-sumber informasi utama yang menjadi acuan konsumen dan pengaruh relative dari tiap sumber tersebut terhadap kepuasan pembelian selanjutnya. Sewcara umum konsumen mendapatkan informasi tentang suatu produk dari sumber komersial yaitu sumber yang didominasi oleh pemasar.

c. Evaluasi Alternatif

    Jika samua alternative yang wajar telah diidentifikasikan, konsumen harus mengevaluasinya satu per satu sebagai persiapan untuk mengadakan pembelian. Kriteria evaluasi yang dipakai konsumen mencakup pengalaman masa lalu dan sikap terhadap aneka merk. Konsumen juga mendengarkan tanggapan-tanggapan keluarga dan kelompok lain. Beberapa konsep dasar akan dapat membantu pemasar dalam memahami proses evaluasi konsumen. Pertama, konsumen berusaha memenuhi suatu kebutuhan. Kedua, konsumen mencari manfaat tertentu dari suatu produk. Ketiga, konsumen memandang setiap produk sebagai sekumpulan atribut dengan kemampuan yang berbeda-beda dalam memberikan manfaat yang dicari untuk memuasakan kebutuhan.

d.Keputusan Pembelian

    Setelah mencari dan mengvaluasi berbagai alternative untuk memenuhi kebutuhan, konsumen pada titik tertentu harus memutuskan antara membeli atau tidak membeli, jika keputusan yang diambil adalah membeli, konsumen harus membuat rangkaian keputusan yang menyangkut merk, harga, tempat penjualan, warna, dan lain-lain.

e.Prilaku Pasca Pembelian

     Saat membeli suatu produk,bagi seorang konsumen akan mengalami tingkat kepuasan dan ketidakpuasan tertentu. Perasaan konsumen setelah malakukan pembelian dapat mempengaruhi pembelian ulang dan juga ditambah dengan apa yang dikatakan oleh konsumen kepada teman atau kerabat tentang produk tersebut.Biasanya konsumen akan mengalami kecemasan purnabeli,kecemasan ini disebut disonasi kognitif purnabeli yang terjadi karena setiap alternative yang dihadapi konsumen memiliki kelebihan dan kekurangan.
Penelitian sebelumnya.

KERANGKA FIKIRAN

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan helm merk GV di Pekan baru
|
Tanggapan terhadap Pelanggan
|
Tingkat Kepuasan Pelanggan Helm Merk GV di Pekan baru

.
    Penelitian sebelumnya yang berkaitan adalah  meneliti tentang Analisis Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Keputusan dalam Pembelian Pada UD Techno COM. Dari hasil penelitian diketahui bahwa variabel bebas seperti harga, kahandalan system, vga card, tampilan layar,kelengkapan multi media, pelayanan purna jual berpengaruh secara simultan terhadap keputusan konsumen dalam pembelian computer pada UD Tecnocom.Persamaan penelitian ini dengan penelitain penulis adalah sama-sama menganalisis tentang prilaku konsumen, sedangkan perbedaannya adalah pada objek penelitiannya.



Hipotesis Penelitian

a.Hipotesis I


Ho : Duduga factor-faktor seperti harga, selera, kualitas,harga jual kembali, prestise dan promosi, secara simultan tidak berpengaruh terhadap prilaku konsumen dalam pembelian hel merk GV.
Ha : Duduga factor-faktor seperti harga, selera, kualitas,harga jual kembali, prestise dan promosi, secara simultan berpengaruh terhadap prilaku konsumen dalam pembelian hel merk GV.

b.Hipotesis II
Ho : Diduga factor kualitas tidak mempunyai pengaruh dominan terhadap prilaku konsumen dalam pembelian helm merk GV pada mahasiswa Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Unri
Ha : Diduga factor kualitas mempunyai pengaruh dominan terhadap prilaku konsumen dalam pembelian helm merk GV pada mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unri.



BAB III
METODE PENELITIAN

A.Lokasi Penelitian
    Penelitian ini mengambil lokasi pada Fakultas ilmu sosial dan ilmu politik UNRI  dengan alamat JL. HR.Subrantas KM12.5 panam.

B.Populasi dan Sampel
   1.Populasi Penelitian
Populasi dalam penlitian ini adalah seluruh mahasiswa fakultas ilmu sosial dan ilmu politik UNRI yang membeli serta menggunakan helm merek GV.
2.Sampel Penelitian
Karena jumlah populasi yang terlalu besar yaitu lebih dari 100 dan keterbatasan dan, waktu, serta tenaga yang dimiliki, maka jumlah sampel yang akan diambil sebanyak 50 responden yang terdapat dalam populasi tersebut. Dimana manurut Arikunto ( 2002 : 112 ) jika populasi lebih dari 100 orang maka diambil sampai 5%-10% atau 20%-30% dari jumlah populasi. Sedangkan menurut Guildford ( 1987 : 125 ) jumlah sampel yang diambil adalah lebih besar dari persyaratan minimal sebanyak 30 responden dimana semakin besar sampel akan memberikan hasil yang lebih akurat.

C.Jenis dan Sumber Data
1.Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini berupa :
a.Data Kualitatif, yaitu data yang berbentuk kata, kalimat, skema, dan gambar, sepertu literature-literatur serta teori-teori yang berkaitan dengan penelitian penulis.
b.Data Kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan ( scoring ).
2.Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berupa :
a.Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden penelitian melalui wawancara dan kuesioner di lapangan.
b.Data Sekunder, yaitu data yng diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, sudah dikumpulkan dan diolah oleh pihak lain. Biasanya sudah dalam bentuk publikasi saperti data yang diperoleh dari situasi-situasi internet dan data lainnya yang berhubungan langsung dengan objek yang diteliti.

D.Teknik Pengumpulan Data
    Metode pengumpulan data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah :
a.Interview, yaitu suatu metode pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung dengan responden dengan bantuan daftar pertanyaan untuk mengumpulkan data primer.
b.Kuesioner, yaitu suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat pertanyaan atau pertanyaan tertulis pada responden untuk menjawab.

E.Variabel penelitian
    Variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah :
1.VAriabel terikat (Y) : Prilaku konsumen dalam pembelian helm merk GV di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNRI Pekan baru.
2.Variabel bebas (X) : Harga,selera, kualitas, harga jual kembali, prestise dan promosi.
Untuk mengetahui hasil tanggapan responden terhadap variabel-veriabel penelitian maka digunakan data interval dengan skala 0-10. Sedangkan untuk mengetahui pengukuran dan interpretasi data, maka data interval dibagi menjadi 5 (lima) skor interval sebagai berikut :
0 ≤ 2 Skor 1
2,1 ≤ 4 Skor 2
4,1 ≤ 6 Skor 3
6,1 ≤ 8 Skor 4
8,1 ≤ 10 Skor 5

F.Definisi Operasional Variabel
1.Harga (X1)
Melihat tanggapan konsumen mengenai variabel harga harga helm merk GV yang ditetapkan dibandingkan dengan harga produk pesaingnya yang sejenis.
X1.1Perbandingan dengan harga pesaing
Tanggapan konsumen terhadap perbandingan harga helm merk GV dengan helm merk lain yang sejenis seperti Arai, Shoe, Nolan, dan lain-lain. Diukur dalam rupiah.
X1.2Harga yang ditetapkan
Tanggpan konsumen terhadap harga yang ditetapkan dari produk yang dbeli konsumen. Diukur dalam rupiah.
2.Selera (X2)
Gambaran produk helm GV yang diinginkan konsumen dalam memberikan kesenangan dan kepuasan. Indikatornya adalah :

X2.1Jenis Model
Penilaian konsumen terhadap berbagai tipe pilihan helm merk GV yang ditawarkan oleh produsen.
X2.2Warna
Penilaian konsumen terhadap ragam pilihan warna yang ada pada helm merk GV.
X2.3Penampilan Luar (Body)
Penilaian konsumen terhadap penampilan luar helm merk GV dibandingkan dengan produksi pesaingnya.
Ketiga indicator di atas diukur berdasarkan tingkat kesenangan dan kepuasan konsumen.
3.Kualitas (X3)
Melihat tanggapan konsumen mengenai kualitas helm merk GV.
X3.1Kenyamanan
Penilaian konsumen pada saat menggunakan helm.
X3.2Daya Tahan
Penilaian konsumen terhadap usia operasional helm merk GV yang diharapkan dalam berbagai kondisi cuaca.
4.Harga Jual Kembali (X4)
Mengetahui tanggapan konsumenterhadap harg jual kembali serta kamudahan dalam memasarkan produk yang sudah dipakai.
X6.1Harga jual kembali
Penilaian konsumen terhadap harga dari helm merk GV. Diukur dalam rupiah

X6.2Pemasaran produk purna pakai
Penilaian konsumen terhadap tingkat kemudahan pemasaran dan penerimaan dari konsumen lainnya terhadap jal merk GV purna pakai. Di ukur berdasarkan perlakuan.
5.Prestise (X5)
Nilai kebanggaan yang dirasakan seseorang akibat penggunaan suatu produk. Diukur berdasarkan tingkat kesenangan konsumen.
6.Promosi (X6)
Suatu bentuk komunikasi pemasaran seperti akivitas untuk menyebarkan informasi, mempengaruhi, membujuk konsumennya untuk membeli helm merk GV.
X6.1Tanggapan konsumen terhadap iklan helm merk GV yang disampaikan oleh pemasar. DApat diukur dri frekuensi, luas jangkauan, serta ukuran.
X6.2Hadiah
Respon konsumen terhadap sikap simpatik pamasar pada saat membeli helm GV. Diukur berdasarkan tingkat kesenangan konsumen.

G.Uji Validasi dan Rehabilitasi Instrumen Penelitian
      Uji validasi dan rehabilitasi yang dilakukan dalam penelitian ini dimaksudkan agar data yang diperoleh dengan cara penyetaraan quisioner valid dan reliable.
Instrumen dikatakan valid jika mampu mengukur apa yang diingikan dan mempu mengungkapkan data yang diteliti secara tepat. Tinggi rendahnya instrument menunjukkan sejauh mana data yang dikumpulkan tidak menyimpang dari gambaran variabel yang dimaksud ( Suharsimi Arikunto, 145 : 2002 ).

     Uji validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validasi item, yaitu menguji terhadap kualitas item-itemnya. Yaitu dengan menghitung korelasi antara setiap item dengan skor total sebagai kriteria validilitasnya.
 
      Uji reabilitas bertujuan untuk menguji sejauh mana alat pengukur dapat dipercaya atau diandalkan. Pengukur reliabilitas dilakukan dengan menggunakan koefisien Alpha Cronbach (a). Dimana, biasanya reliabilitas minimal 0,5.

H.Teknik Analisis Data
    Data yang terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistic dengan menggunakan program SPSS,dimana rumus statistic yang digunakan adalah Linier Multiple Regression (regresi linier berganda), dimana fungsinya adalah :
Y = a + b1 . X1 + b2 .X2 + b3 . X3 + b4 . X4 + b5 . X5 + b6 . X6 + e

Fungsi tersebut menerangkan hubungan antara dua variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y), dimana :
Y : Prilaku konsumen
A : Konstanta
b1 s/d b7 : Koofesien Regresi
X1 : Harga
X2 : Selera
X3 : Kualitas
X4 : Harga Jual Kembali
X5 : Prestise
X6 : Promosi
e : Faktor ganguan


I.Uji Asumsi Klasik
a.Uji Multikolinieritas
     Uji multikolinieritas dugunakan untuk mengetahui ada tidaknya kolerasi antara variabel independent, jika terjadi kolerasi maka terdapat problem multikolonieritas. Untuk mengetahui ada tidaknya multi kolonieritas antar variabel, dapat dilihat dari Variabel Inflation (VIF) dari masing-masing variabel bebas terdapat variabel terikat. Jika nilai VIF kurang dari sepuluh dapat dinyatakan tidak terjadi multikolonieritas ( Gujarati, 1995).

b.Uji Heteroskedastisitas
     Uji heteroskedastitas digunakan untuk menguji apakah dalam sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan kepengamatan yang lain. Jika varian dari residual dari suatu pengamatan kepengamatan yang kain tetap, maka disebut omoskedastisitas. Dan jika varian berbeda disebut heteroskedasitas ( Santoso, Singgih, 2002 :208 ). Untuk mengetahui ada tidaknya gejala heterosskedatisitas dalam penelitian ini menggunakan metode Sperman Rank Correlation. Apabila hasil pengujian menunjukkan lebih dari α = 5% maka tidak ada heteroskedasitas.

c.Uji Autokorelasi
      Uji autokorelasi digunakan untuk mengetahui apakan dalam persamaan regrasi mengandung korelasi serial atau tidak diantara variabel penggangu. Menurut Singgih Santoso ( 2002 : 219 ) untuk mengetahui adanya autokorelasi digunakan uji Durbin – Watson mendekati angka 2 berarti tidak ada autokorelasi.


d.Uji Normalitas
    Uji normalitas dilakukan untuk mgnetahui apakah sebuah model regresi, variabel independen, variabel dependen, atau keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Untuk mengetahuinya digunakan uji Kolmongorov-Smirnov, menurut Singgih Santoso ( 2001 : 142 ) pedoman pengambilam keputusan dalam uji normalitas yaitu, bila nilai Sig atau signifikan lebih besar daripada 0,05 maka distribusi adalah normalitas (simetris).





















                                          DAFTAR PUSTAKA




                                                                                                                        
Stanton, William J.1996. Prinsip Pemasaran (terjemahan). Edisi 7,jilid 1.Erlangga. Jakarta.

Lamb,Hair,Mc Daniel.2001. Pemasaran (terjemahan).Edisi Bahasa Indonesia,Jilid Pertama.Salembaempat.Jakarta.
Kotler, Philip.2002.Manajemen Pemasaran (terjemahan).Edisi Millenium, jilid 1.PT. Prenhallindo. Jakarta.
Enggel,Blackwell,Miniard.1994. Prilaku Konsumen (terjemahan).Edisi Enam.Jilid Pertama.Binarupa Aksara.Jakarta.
Arikunto,Suharsimi.2002. Prosedur Penelitian.Edisi Revisi V.PT.Rineka Cipta.Jakarta.


Asal mula suku batak

 Bagaimana sebenarnya asal muasal suku Batak? Bahkan ada orang yang bertanya-tanya adakah kaitannya antara asal muasal suku Batak dengan kemampuan mereka dalam mendominasi sektor transportasi darat Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya? (jadi supir maksudnya…) hehehe…
Maka beginilah ceritanya:
Sebenarnya beberapa versi menghiasi sejarah tentang asal usul suku Batak. Singkatnya salah satu versi itu dapat dijelaskan begini (ini serius loh):
Suku Batak itu berasal dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, daerah pinggiran Danau Toba, lebih kurang delapan kilometer arah barat Pangururan, Kabupaten Toba Samosir.


Namun kalo itu tidak cukup, maka beginilah penjelasannya (ini juga serius loh):
Suku bangsa Batak itu adalah Proto Malayan, sama seperti suku bangsa Toraja. Mungkin ini adalah salah satu jawaban kok beberapa bahasa Toraja itu mirip dengan bahasa Batak. Sedangkan Neo Malayan itu turunannya adalah suku-suku bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura dan sebagainya.
Jadi gitu, Suku bangsa Batak itu awalnya adalah salah satu suku dari Proto Malayan yang bermukim di pegunungan perbatasan Burma (Myanmar sekarang) dan Siam (Thailand sekarang). Selama ribuan tahun lamanya suku bangsa Batak itu bertempat tinggal dengan suku bangsa Proton Malayan lainnya, seperti Karen, Igorot, Toraja, Bontoc, Ranau, Meo, Tayal dan Wajo. Bayangkan betapa bosannya selama ribuan tahun hidup di gunung terus. Gak ada tv, gak ada mal, apalagi artis. Hanya ada pepohonan dan bebatuan. Kriik.. krikk.. krikk… sepi….
Zaman dulu suku-suku Proto Malayan itu orangnya gak gaul, gak mau berhubungan dengan dunia luar. Mereka setia tinggaI di pegunungan. Kemungkinan besar mereka gak pernah piknik ke pantai. Hehe.. Ini berbeda sekali dengan suku-suku Neo Malayan. Suku-suku Neo Malayan lebih suka tinggal di tepi laut atau tanah datar terbuka. Sama seperti Dono, Kasino, Indro yang difilm-flmnya pasti ada saja adegan pergi ke pantai.
Tapi semua itu berakhir. Si Suku-suku Proto Malayan terpaksa berhenti menutup diri di pegunungan itu. Karena sekitar tahun 1000 Sebelum Masehi (SM), suku bangsa Mongol datang menyerang dan terpaksalah mereka kabur ke selatan, sepanjang sungai-sungai Irawady, Salween, serta Mekong.
Udah itu,, mereka gak cuma didesak oleh si suku-suku mongol itu. Ternyata mereka juga didesak bangsa Syan yang bukan Proto Malayan, tapi Palae Mongoloid. Jadinya sebagian besar suku-suku Proto Malayan itu terdesak sampai ke tepi laut di teluk Martaban (kasian nenek moyang ku..). Hilanglah sifat-sifat kuper yang mereka gemari.
Nah.. sekarang mereka sudah tinggal di tepi laut. Tentunya sekarang mereka sudah bisa piknik ke pantai…(Yeeee…) Di tepi laut, kebudayaan Proto Malayan ini jadinya mulai kecampur dengan budaya Hindu (bahasa kerennya terakulturasi), Ini juga mempengaruhi bahasanya. Seperti contohnya dalam bahasa Batak, istilah-istilah seperti debata, singa, surgo, batara dan mangaraja.
Tapi emang dasar orang gunung, Suku-suku proto Malayan tentunya kurang senang bertempat tinggal di tepi laut. Terlalu banyak orang asing yang harus diperhitungkan.
” Bihkskh jhk, lkjajs jjasj dfre dafed laisf, jkansajk ahbjks fdljfl sfjdklj dnflk! Dsdnk- dsdnk cgruu neianh hula hrifsj thanydioi… Oringh.. Oringh.. ajsklaj ;kl; nklklj jklj skjd. Bajk hjaksd kla!” tutur salah seorang pria Proto Malayan sambil menggaruk-garuk pantatnya yang baru saja digigit kepiting laut.
Jika diterjemahkan menjadi: ”Busset daah, males banget gw di tepi laut, mana banyak orang banget di sini! Lama-lama cabut jg gw.. Oringh.. Oringh.. Mana lagi bini’ gw. Bikinin kopi sono!”
Mereka murung. Sedih. Mereka gak tahan lagi menanggung derita ini. Beberapa orang bahkan sampai mencoba bunuh diri dengan cara menusuk-nusukan capit kepiting ke ketek kiri mereka, sebab konon katanya mereka percaya bahwa letak jantung adalah di ketek kiri. Hehe…
Ini sangat menyakitkan… Gak ada lagi tempat terisolasi seperti mereka biasanya. Mereka gak tahan lagi. Lalu mereka memberanikan diri mengambil resiko, menyeberangi lautan mencari tempat tertutup.
Suku-suku dari Proto Malayan pun akhirnya terpisah-pisah. Suku-suku bangsa Proto Malayan yang kecil-kecil, banyak yang melancong dan akhirnya menetap di Filipina. Di situ mereka membentuk komunitas baru dan buka bisnis togel… (hehe.. gaklah). Disana mereka menolak agama Islam dan agama Katholik. Padahal 90 persen orang Filipina, yang suku-sukunya Neo Malayan, beragama Islam dan agama Katholik, seperti suku Tagalog.
Ada juga yang ke Taiwan. Suku bangsa Tayal pergi ke puncak-puncak gunung di Taiwan sejak 3.000 tahun lalu sampai sekarang (Jangan-jangan mereka itu leluhur F4 yang di serial meteor garden. Hehe) Mereka tidak ambil pusing bahwa tanah-tanah datar di tepi pantai Taiwan, silih berganti direbut Cina, Belanda, Cina, Jepang dan Cina lagi.
”Jkjg jklj ljklj hhs, hha akhcu jh, hkau jhj gkh! Hkhs auhi jo seeeept… seeept seept… seept.. (Lo mau perang kek, mau ngapain kek. Gw kagak peduli! Terserah lo dah booss… booos.. boos… boos…)” teriak mereka dari gunung sambil menyaksikan tanah datar di tepi pantai Taiwan direbut silih berganti.
Sejak 3.000 tahun di Taiwan mereka menolak segala macam agama. Tetapi sesudah Perang Dunia II mereka mulai mau menerima Kristen dari pendeta-pendeta Kanada, yang membawa ilmu kesehatan modern.
Suku bangsa Toraja mendarat di Sulawesi. Di situ mereka selama 3.000 tahun hingga sekarang kontra dengan suku-suku bangsa Bugis dan Makasar, yang adalah Neo Malayan. Mereka berantem mulu (udah mirip Israel-Palestina aja yak…). Agama Islam sekitar 400 tahun sudah diterima Bugis dan Makasar. Tetapi suku Toraja gak mau. Tapi pas abad XX suku bangsa Toraja mau menerima Protestan Calvinist dari pendeta-pendeta Belanda.
Sementara suku Karen tetap bertahan di pegunungan Burma. Sampai sekarang juga berantem terus dengan suku bangsa Burma yang membentuk Republik Burma. Suku bangsa Karen tetap menolak agama Budha, yang dianut orang-orang Burma dan Siam. suku bangsa Karen sejak abad ke-XIX menerima agama Kristen/British Baptists dari pendeta-pendeta Inggris.
Sedangkan suku bangsa Ranau mendarat di Sumatera Barat, lalu selama 2.500 tahun berkurung di sekitar Danau Ranau. Lepas dari segala pengaruh kerajaan Sriwijaya, kerajaan Darmasraya, dan apa saja yang timbul dan lenyap di Sumatera Selatan. Tapi sekitar tahun 1550 suku bangsa Ranau ditaklukkan kesultanan Banten, yang membutuhkan sekitar Danau Ranau untuk penanaman merica untuk ekspor. Nah, Tulisannya si suku bangsa Ranau inilah yang paling dekat ke tulisan Batak. Sedangkan bahasa Igorot (di Filipina) itulah bahasa terdekat dengan bahasa Batak.
Lalu bagaimana nasib si suku bangsa Batak, nenek moyangku? Tenang-tenang… ternyata mereka mendarat di pantai Barat pulau Sumatera. Di situ suku bangsa Batak terpecah menjadi beberapa gelombang (gelombang radio tidak termasuk). Gelombang pertama berlayar terus dan mendarat di pulau-pulau Simular, Nias, Batu, Mentawai, Siberut sampai ke Enggano (Sumatera Selatan).
Gelombang kedua mendarat di muara sungai Simpang, sekarang Singkil. Mereka bergerak sepanjang sungai Simpang Kiri dan menetap di Kutacane. Dari situ mereka menduduki seluruh pedalaman Aceh. Itulah yang menjadi orang-orang Gayo, dan Alas.
Sementara gelombang ketiga mendarat di muara Sungai Sorkam, antara Barus dan Siboga. Memasuki pedalaman daerah yang sekarang dikenal sebagai Doloksanggul dan belakangan menetap di kaki Gunung Pusuk Buhit (2005 meter), di tepi danau Toba sebelah barat, sekarang di seberang Pangururan. Dari situ berkembang dan akhirnya menduduki tanah Batak yang sekarang, antara Aceh dan Minangkabau, antara Samudera Hindia dan Selat Malaka. Jadi begitulah garis beras (eh, besar) dari migrasinya suku bangsa Batak.
Begitu ceritanya…
Tapi ada juga versi lainnya yang mengatakan Suku Batak berasal dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba. Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan, pada tahun 1024 kerajaan Cola dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1.400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Jadi intinya:
1. Asal usul orang Batak tidak ada hubungannya dengan kemampuan suku itu menguasai sektor transportasi darat Indonesia.
2. Ternyata aku ada keturunan Thailand-nya…